Apakah Mahasiswa Masih Menganggap Dosennya?


Apakah Mahasiswa Masih Menganggap Dosennya?


Hari itu, seorang anak masuk kelas dengan salam terbaiknya, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Seperti biasa, ia menempati bangku tengah. Bercengkerama tanpa tahu apa yang sedang guru rasakan. Jarum pendek telah menunjuk tepat di tengah-tengah angka 4 dan angka 5. Sang guru memulai pelajaran dengan keluh kesah, “Saya baru sadar, telah terjadi pergeseran nilai saat ini. Murid menganggap saya guru hanya dalam kelas saja.”
Sekelumit kisah tersebut menjadi tamparan keras bagi moral anak bangsa saat ini. Betapa tidak? Saat ini budaya bangsa telah tergerus. Budaya yang sangat mudah dilakukan pun seperti sulit dilakukan. Contohnya adalah menyapa atau bahkan sekadar tersenyum saat bersua. Adab kini makin diabaikan, tak terkecuali oleh mahasiswa yang kuliah jauh dari kampungnya.
Kata Imam Syafi’i, “Orang yang berakal dan beradab tidak berdiam diri di kampungnya. Dia berpisah dari rehatnya dan mengasingkan diri dari negerinya.” Ya begitulah mahasiswa, tetapi apakah masih pantas disebut berakal dan beradab jika tidak menyapa atau sekadar menganggukkan kepala saat bertemu dosennya? Walaupun dosen belum tentu tahu nama mahasiswanya, beliau tahu yang mana mahasiswanya. Perbuatan ini sedikit banyak menyakiti hati dosen, gurunya siswa yang bergelar maha. Jika guru sudah sakit hati, maka ilmu akan sulit dipahami. Mungkin itu salah satu penyebab tingkat kecerdasan di Indonesia rendah.
Dari perspektif mahasiswa, ada berbagai alasan mengapa ia tidak menyapa dosen. Pertama, memang tak beradab. Ilmu adab saat ini sudah sangat jarang dipelajari, apalagi adab menuntut ilmu. Dalam kajian-kajian yang ada pun, jarang sekali ditemukan tema-tema tentang adab, kalau pun ada hanya sedikit orang yang menghadirinya. Selain itu, era globalisasi dan westernisasi membuat mahasiswa millenial ini melupakan budaya-budaya Indonesia, terlebih pada budaya sederhana seperti menyapa.
Kedua, adanya rasa sungkan. Ketika melewati dosen, mahasiswa sungkan untuk menyapa karena takut salah ucap yang berdampak pada salah tingkah, sehingga memilih untuk diam atau pura-pura tidak melihat dosen tersebut.
Ketiga, memang tidak melihat dosen. Terkadang, mata terfokus pada suatu hal sehingga mengabaikan hal lain yang dilihat di sekitarnya. Di sisi lain, ada orang lain yang lewat. Otomatis, orang lewat itu terabaikan dari mata yang tak fokus padanya.
Ketiga alasan tersebut memang tidak dapat diterima. Sudah sepatutnya seorang mahasiswa menganggap dosen tidak hanya saat di ruang kelas. Sebab, ilmu akan mudah diserap apabila si perantara pemberi ilmu merasa senang ketika melihat penuntut ilmu. Ilmu tak hanya diperoleh di dalam kelas atau dari buku yang dibaca dan video yang ditonton, tetapi juga dibarengi adab yang baik saat menuntut ilmu. Adab bukan lagi tentang boleh dan tidak boleh atau halal dan haram, melainkan tentang patut dan tak patut.

KM

Share:

0 comments:

Post a Comment